Wednesday, May 07, 2008


In memoriam Chrismansyah Rahadi






(*)
Bm A G# G
Apakah kita semua
E
Benar-benar tulus
F G
Menyembah pada-Nya
Bm A G# G
Atau mungkin kita hanya
E
Takut pada neraka
F G
Dan inginkan surga

Reff: Bm A G# G
Jika surga dan neraka tak pernah ada
E F G
Masihkan kau bersujud kepada-Nya
Bm A G# G
Jika surga dan neraka tak pernah ada
E F G
Masihkah kau menyebut nama-Nya

(**) Bm A G# G
Bisakah kita semua
E F G
Benar-benar sujud sepenuh hati
Bm A G# G
Kar'na sungguh memang Dia
E
Memang pantas disembah
F G
Memang pantas dipuja

Kembali ke: Reff, (*), (**), Reff


Menjaga amanat orang tua

Dalam sebuah kisah Imam Al-Ghazali bercerita bahwa di sebuah perbukitan yang indah, berdirilah sebuah rumah yang anggun dan sedap dipandang mata. Di sekelilingnya, ditumbuhi berbagai pepohonan yang rindang. Halamannya, penuh dengan rerumputan dan bunga-bunga yang menebar keharuman. Begitu asri dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yang menghuninya, karena memang dirawat sedemikian rupa dengan perawatan yang alami.



Di kesenjaan usianya, si shahibul bait itu berwasiat kepada anaknya agar senantiasa menjaga dan merawat pohon, rerumputan dan tanaman yang harum itu sebaik mungkin. Demikian pentingnya, sampai-sampai ia berkata "Selama engkau masih bertempat tinggal di rumah ini, jangan sampai tanaman itu rusak, apalagi hilang".

Beberapa waktu kemudian, si shahibul bait wafat, sang anak menjalankan apa yang telah dititahkan mendiang ayahnya dengan
sungguh-sungguh. Rumah itu betul-betul dirawat, demikian juga rerumputannya. Tidak hanya itu, si anak kemudian bernisiatif untuk mencari jenis tanaman lain yang menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam di halaman rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.

Sang anak tadi menjadi tambah berbunga-bunga hatinya, dalam benaknya terlintas kebanggaan tersendiri bahwa dirinya telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan rumput yang menjadi penyejuk rumah lebih dari yang diperintahkan orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang ditanam si anak, mengalahkan rumput "asli" baik dari segi keelokan maupun harumnya.

Namun yang patut disayangkan, rumput dan tanaman yang pernah diwasiatkan orang tuanya akhirknya ditelantarkan. Sebab, sudah ada rumput lain yang lebih bagus, lebih sejuk dipandang dan sebagainya. Bahkan, saat rumput yang dititahkan oleh orang tuanya untuk menjaga tersebut rusak, dan tak ada penyesalan dalam hati si anak. "Toh, sudah ada rumput yang lebih bagus", pikirnya.

Selanjutnya beberapa waktu kemudian sang anak mendapati rumput asli peninggalan orang tuanya itu rusak, dan musnah tak tersisa. Akibatnya bukan kenyamanan dan ketentraman yang didapat, rumah itu lambat laun menjelma menjadi tempat istirahat yang menakutkan. Betapa tidak, rumah itu dimasuki berbagai macam ular besar dan kecil yang membuat si anak tersebut
harus meninggalkan rumah itu.

Mencermati cerita ini, Al-Ghazali memaknai wasiat orang tua itu dengan dua hal. Pertama, agar sang anak bisa menikmati keharuman rumput yang tumbuh di sekeliling rumahnya. Dan makna ini bisa ditangkap dengan baik oleh nalar si anak. Kedua, agar rumah tersebut aman. Sebab, aroma rumput itu, dapat mencegah masuknya ular ke dalam rumah yang tentu berpotensi mengancam keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar sang anak.

(Disarikan dari: Qadliyyah al-Tashawwuf al-Munqidh Min al-Dlalal)

sungguh orang tua semacam ini telah memberikan kemudahan-kemudahan yang tinggal dijalani, InsyaAllah sang anak tidak akan direpotkan dengan penambahan-penambahan yang tidak perlu dan bahkan cenderung boros. Kita tinggal menggarap urusan yang lebih penting dibandingkan mengurusi urusan lips-service ataupun keindahan semu yang dikemudian hari berpotensi menjadi bumerang

ARSY (‘Arasy)


‘Arsy (عَرْش) adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya – ya‘risyu – ‘arsyan (عَرَشَ يَعْرِشُ عَرْشًا) yang berarti “bangunan”, “singgasana”, “istana” atau “tahta”. Di dalam al-Quran, kata ‘arsy dan kata yang seasal dengan itu disebut 33 kali. Kata ‘arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah “singgasana” atau “tahta Tuhan”.






Tentang pengertian ‘arsy (عَرْش), ulama memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ‘arsy (عَرْش) merupakan ”pusat pengendalian segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan Rasyid Rida itu antara lain didasarkan pada S. Yunus (10): 3, “Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy (عَرْش = singgasana) untuk mengatur segala urusan.”


Jalaluddin as-Suyuthi (pengarang tafsir Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur) menjelaskan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Wahhab ibnu Munabbih bahwa Allah Swt. menciptakan ‘arsy (عَرْش) dan kursi (kedudukan) dari cahaya-Nya. ‘Arsy (عَرْش) itu melekat pada kursi. Para malaikat berada di tengah-tengah kursi tersebut. ‘Arsy (عَرْش) dikelilingi oleh empat buah sungai, yaitu: 1) sungai yang berisi cahaya yang berkilauan; 2) sungai yang bermuatan salju putih berkilauan; 3) sungai yang penuh dengan air; dan 4) sungai yang berisi api yang menyala kemerahan. Para malaikat berdiri di setiap sungai tersebut sambil bertasbih kepada Allah Swt. Di ‘arsy (عَرْش) juga terdapat lisan (bahasa) sebanyak bahasa makhluk di alam semesta. Setiap lisan bertasbih kepada Allah Swt. berdasarkan bahasa masing-masing.


Berbeda dengan pendapat as-Suyuti di atas, Abu asy-Syaikh berpendapat bahwa ‘arsy (عَرْش) itu diciptakan dari permata zamrud hijau, sedangkan tiang-tiang penopangnya dibuat dari permata yakut merah. Di ‘arsy (عَرْش) terdapat ribuan lisan (bahasa), sementara di bumi Allah menciptakan ribuan umat. Setiap umat bertasbih kepada Allah dengan bahasa ‘arsy (عَرْش). Pendapat ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw. yang diterima Abu asy-Syaikh dari Hammad.


Lebih lanjut tentang asal-usul penciptaan ‘arsy (عَرْش), Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadis dari asy-Sya‘bi yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “‘Arsy (عَرْش) itu terbikin dari batu permata yakut merah. Kemudian, satu malaikat memandang kepada ‘arsy (عَرْش) dengan segala keagungan yang dimilikinya”. Lalu, Allah Swt. berfirman kepada malaikat tersebut, “Sesungguhnya Aku telah menjadikan engkau memiliki kekuatan yang sebanding dengan kekuatan 7.000 malaikat. Malaikat itu dianugerahi 70.000 sayap. Kemudian, Allah menyuruh malaikat itu terbang. Malaikat itu pun terbang dengan kekuatan dan sayap yang diberikan Allah ke arah mana saja yang dikehendaki Allah. Sesudah itu, malaikat tersebut berhenti dan memandang ke arah ‘arsy (عَرْش). Akan tetapi, ia merasakan seolah-olah ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya terbang semula. Hal ini memperlihatkan betapa besar dan luasnya ‘arsy (عَرْش) Allah itu.”


Gambaran fisik ‘arsy (عَرْش) merupakan hal yang gaib, yang tak seorang pun mampu mengetahuinya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas di dalam riwayat Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan ada yang mampu mengetahui berapa besar ukuran ‘arsy (عَرْش), kecuali penciptanya semata-mata. Langit yang luas ini jika dibandingkan dengan luas ‘arsy (عَرْش) sama dengan perbandingan di antara luas sebuah kubah dan luas padang sahara.”


Di dalam perbincangan ulama kalam (teolog Islam) persoalan ‘arsy (عَرْش) merupakan topik yang kontroversial. Para ulama tersebut memperdebatkan apakah ‘arsy (عَرْش) itu sesuatu yang bersifat immaterial (nonfisik) atau bersifat material (fisik). Dalam hal ini terdapat tiga pendapat; Pertama, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kata ‘arsy (عَرْش) di dalam al-Quran harus ditakwilkan dan dipahami sebagai makna metaforis (majazi). Jika dikatakan Tuhan bersemayam di ‘arsy (عَرْش), maka arti ‘arsy (عَرَش) di sini adalah kemahakuasaan Tuhan. Tuhan merupakan zat yang immaterial, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat material. Kedua, golongan Mujassimah atau golongan yang berpaham antropomorfisme. Pendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘arsy (عَرْش) harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘arsy (عَرْش) sebagai sesuatu yang yang bersifat fisik atau material. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ‘arsy (عَرْش) dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena al-Quran sendiri mengartikan demikian. Akan tetapi, bagaimana wujud tahta atau singgasana Tuhan itu hanya Dia sendiri yang tahu. Akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahuinya. Pendapat ini diyakini oleh golongan Asy‘ariyah.



Tuesday, May 06, 2008

Kenikmatan Hati dan Nafs

Kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang berhati bersih tidak sama dengan kenikmatan orang yang terbelenggu oleh nafs. Kenikmatan hati adalah kenikmatan yang sebenarnya. Orang-orang yang berhati bersih menikmati berbagai kebajikan, merasakan kesenangan batin dan berkelana dengan pikiran-pikiran baiknya. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang berhati bersih untuk mencari tempat-tempat yang sepi kemudian menikmatinya, terutama pekuburan. Tempat yang secara langsung mengajarkan bahwa semua orang akan tinggal di sana.

Orang-orang yang berhati bersih menikmati berbagai kebajikan yang dijauhi oleh mereka yang terbelenggu oleh berbagai kenikmatan nafs. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat besar.

Orang yang berhati bersih akan merasa cukup dengan sedikit harta (qanaah), menyukai semangat yang muncul dari pikiran mereka dan menikmati batin serta taman-taman pemikiran mereka. Sedangkan kenikmatan orang yang terbelenggu oleh nafs kadang sulit didapat dan melelahkan, seperti usaha untuk menumpuk harta tetapi tidak menyedekahkannya, usaha untuk membalas dendam dan usaha untuk menghindari musuh dan penentang. Semua usaha ini melelahkan. Demi memenuhi keinginan syahwat yang hina, manusia rela melakukan berbagai dosa besar.

Orang yang berhati bersih merasa kaya meskipun tak memiliki harta. Demikianlah sifat orang-orang yang memiliki kenikmatan. Walau hanya memiliki sedikit teman, mereka tetap memburu kemuliaan. Mereka mengatur waktu dengan seksama. Jika Allah memberinya makanan yang hanya cukup untuk satu hari, merekapun bersyukur dan memandangnya sebagai nikmat yang paling sempurna. Sebab, keadaan orang yang menumpuk-numpuk dan menyombongkan harta sangat berbahaya, sedikit dari mereka yang selamat. Kecuali, orang yang bersyukur dan mendermakan hartanya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan menghindari sikap kikir yang tercela. Sangat sedikit orang kaya yang mau berbuat seperti ini, sebab sebagian besar dari mereka hanya memperoleh sedikit taufik, khususnya di zaman ini, zaman di mana sifat kikir telah menguasai jiwa.

Nabi Isa berkata:

"Kukatakan kepada kalian, sesungguhnya seekor onta lebih mudah memasuki lubang jarum daripada orang kaya masuk ke surga."

Maksud sabda Nabi Isa di atas yaitu masuk surga tanpa hisab.

Diriwayatkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi Musa as:

"Wahai Musa, jika engkau melihat seorang fakir datang, maka katakanlah kepadanya, "selamat datang syiar kaum sholihin." Dan jika engkau melihat orang kaya datang, maka katakanlah, "Inilah dosa yang disegerakan siksanya." Wahai Musa jangan lupakan Aku, sebab ketika seseorang melupakanKu, dia akan berbuat banyak dosa. Dan jangan merasa senang dengan memiliki banyak harta, sebab banyak harta akan mengeraskan hati."

Wahai saudaraku ketahuilah, orang-orang sebelum kita hidup di zaman yang baik. Mereka hidup di zaman yang baik, selalu memandang orang-orang yang mulia dan cerdas, besikap shidq dalam mencapai semua tujuannya dan berlomba-lomba mengamalkan sunnah. Hati merekapun menjadi bersih. Setelah zaman yang baik ini berlalu, penghuninya pergi, kebaikan pun hilang. Mereka yang hidup di akhir zaman tidak merasakan nikmatnya akhlak mulia serta tidak menyaksikan orang-orang yang shidq. Akhirnya mereka mencari kenikmatan lain; kenikmatan yang rendah dan melelahkan. Mereka tidak merasakan berbagai kenikmatan mulia yang diperoleh orang-orang zaman dahulu.

Telah kami jelaskan bahwa nafs harus disibukkan dengan sesuatu. Begitulah fitrah nafs, seperti api, maksudnya, nafs selalu membutuhkan kesibukan seperti api membutuhkan kayu baker. Jika mampu, nafs akan mencari kemuliaan dan jika tidak mampu maka dia akan menggantinya dengan perbuatan-perbuatan hina. Oleh karena itu wahai saudaraku salik, sibukkanlah nafs mu dnegan kenikmatan hati. Itulah kerajaan yang sejahtera. Kenikmatan ini tidak diketahui oleh para pecinta dunia yang diuji dengan mengumpulkan dan menyimpan harta. Kenikmatan ini telah disebutkan oleh Allah Taala dalam wahyuNya:

"Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (an Nahl 16:97)

Kehidupan yang baik di sini adalah perasaan qonaah dan bahagia walau tidak memiliki harta. Perasaan ini merupakan buah hubungan yang baik. Sebaliknya, engkau melihat seorang hamba memiliki kekayaan dan kehidupan yang baik, tetapi merasa tersiksa. Dadanya terasa sempit, akhlaknya jelek dan kesedihan selalu menyertainya. Sebab dia mengabaikan hak-hak Allah Taala.

Allah Taala mewahyukan:

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
(Thoha. 20:124)

Ikrimah berkata:

"Allah memberi orang-orang yang melupakan Nya rezeki haram yang mempersulit kehidupannya."

Sebab, sesuatu yang haram akan memperburuk akhlak, merusak hati dan menyempitkan dada sebagaimana telah terbukti dan tidak diragukan. Orang seperti ini mendapat bencana, kelelahan, gelisah dan keinginan-keinginan-nya tidak terwujud. Kesusahannya tidak akan pernah berakhir. Kita berlindung kepada Allah dari musibah seperti ini. Dalam sebuah syair disebutkan:
Hati yang kaya, merasa cukup dengan sedikit harta yang dapat menutup kebutuhanmu
Jika lebih dari itu, menjadi miskinlah hatimu.

Hati yang kaya tidak akan membutuhkan berbagai kenikmatan rendah yang kita rasakan saat ini, seperti berbagai hiburan yang melalaikan, pakaian mewah, kesibukan memperindah rumah dan urusan duniawi lainnya. Dalam pandangan orang-orang yang memiliki semangat dan akal, perbuatan ini sangatlah rendah. Manusia mendapatkan musibah dnegan menghambur-hamburkan hartanya dan menyia-nyiakan umurnya untuk memperoleh kenikmatan di atas.

Inilah siksa yang menunjukkan bahwa kedudukannya di sisi Allah Taala sangat rendah. Pahami ini, jangan terjerumus ke dalamnya. Berdoalah selalum maka Ia akan merahmatimu, sebab Ia Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa.

(Mauidzah Hasanah: Habib Muhammad Ibn Abdullah al Aydrus)

Monday, May 05, 2008

Price of Mother's Love





A boy was looking fo his Mom after he went around with his friends on the neighborhood.
"Mom, i'm home...!"
Once he looked around his home and found his Mom in the kitchen.
Later, then he raised a hand and give a leaf of paper as he prepared one day previously
She immediately clean the hand then accept the paper and read it.

Charge for helping Mama:
1) Helping Mom to the shop: $ 20
2) Guarding younger sister : $ 20
3) Throwing Garbage: $ 5
4) Cleaning the bed : $ 10
5) Showering the flowers : $ 15
6) Cleaning the garden : $ 15
TotaL : $ 85

After reading the paper, she only smile and look his Son with care.
He smile too with a winning hope.
Then Mama get a paper & pen wrote something.

1) Cost of your pregnancy 9 month is FREE
2) Cost of your suckle is FREE
3) Cost to keep you every night is FREE
4) Cost of tingling tear for you is FREE
5) Cost to be worry of you is FREE
6) Cost of food, drinks, and clothing you is FREE
Total of Cost = FREE

He suddenly weep a little
and hugs his Mom and say in whisper to his Mom,
”I love MAMA…Nothing must be paid MAMA…MAMA never owe me anything, but I always owe MAMA…”

Always love ur Mom, Heaven is behind the Mother's feet.